Sejarah Membuktikan Arab Saudi Diciptakan Inggris (Barat) Untuk Pecahbelahkan Persatuan & Konsentrasi Umat Islam
![]() |
Keakraban Tuan Su'ud dengan utusan Inggris |
Tersebutlah pada tahun
1910 oleh peran seorang yang mengambil tesisnya, Thomas Edward (TE) Lawrence yang lulus dengan nilai memuaskan
dari Jesus College. Ia belajar sejarah dan agama di perguruan tinggi yang
dinaungi Universitas Oxford di Inggris itu.
Tesisnya berjudul The
Influence of the Crusades on European Military Architecture to the End of the
12th Century menunjukkan betapa ia menyukai topik perang salib yang
mempertarungkan dua kubu utama Kristen dan Islam.
TE Lawrence memang
dibekali ilmu agama yang cukup kuat. Sejak kecil ia sangat aktif dalam berbagai
kegiatan religi dan kerap menjadi pengiring mazmur kudus di gereja dekat
rumahnya yang kini dikenal dengan nama Gwynedd, Wales, di wilayah Britania
Raya.
![]() |
Lawrance yang akrab dengan Tuan Su'ud dan Kerabatnya |
Siapa sangka, orang
British tulen ini nantinya menjadi sosok yang sangat berpengaruh dalam
perjuangan kemerdekaan bangsa Arab dari penguasaan Kesultanan Turki Ottoman.
Terlepas dari bagaimana cara dan upaya yang dilakukan Tom alias Lawrence, ia
adalah salah satu penyebab utama pecahnya Revolusi Arab yang pada akhirnya
berujung pada kemunculan kerajaan Arab Saudi.
Lawrence sudah
mengenal Timur Tengah sejak usia 22 tahun. Pada tahun terakhir dekade pertama
abad ke-20, ia berlayar ke Beirut yang sekarang menjadi ibukota Libanon.
Lawrence menguasai berbagai bahasa asing, termasuk Prancis, Jerman, Latin,
Yunani, Arab, Turki, Suriah, dan masih banyak lagi, yang membuatnya cukup mudah
diterima di berbagai negeri yang dikunjunginya.
Sebagai lulusan
sejarah, Lawrence mula-mula bekerja sebagai arkeolog di beberapa negara di
kawasan Timur-Tengah hingga Afrika Utara. Dilibatkan oleh para ahli dari
British Museum, ia beberapa kali terlibat proyek penggalian benda-benda
bersejarah di Suriah, juga di Mesir, sampai mendekati 1914.
Perang Dunia I yang
dimulai sejak 28 Juli 1914 menyeret Lawrence ke persoalan yang lebih serius.
Sebelum perang meletus, ia diminta militer Inggris dari Imperium Britania untuk
melakukan observasi di Gurun Negev (Najib). Padang pasir di wilayah Israel dan
Palestina itu memang merupakan jalur strategis, dan segala informasi tentangnya
akan sangat berguna bagi Inggris.
![]() |
Para pembesar dinasty Turkye Ottoman hadapi bencana |
Gurun Negev menjadi
akses utama tentara Turki Ottoman jika hendak melakukan serangan. Kekhalifahan
Turki Ottoman adalah penakluk jazirah Arab saat itu. Hampir semua wilayah di
Timur Tengah berada di bawah penguasaannya, dan Inggris atau Britania Raya tentunya
punya kepentingan di situ, selain keterlibatannya di Perang Dunia I.
Tanah Arab waktu itu
masih dihuni oleh klan-klan yang justru saling berperang satu sama lain. Yang
terbesar adalah Bani Hasyim yang juga klan sang Nabi Muhammad. Klan Hasyim ini
menjadi penguasa di Mekkah dan Madinah (atau Hejaz). Sedangkan Klan Saud atau
Bani Saud berkuasa di Najd, yang masih berada di kawasan Arab Saudi sekarang.
Melancarkan jalan misi
ambisi Barat
Bagi Inggris, Bani
Hasyim yang memimpin Hejaz sangat penting. Dalam situasi krusial Perang Dunia
I, penguasa Hejaz adalah Sharif Hussein yang diangkat sebagai Emir (atau
Gubernur) Mekkah oleh Turki pada 1909. Tanpa campur tangan Inggris sekali pun,
kerajaan-kerjaan di jaziarah Arab sebenarnya sudah mulai tidak nyaman dengan
status mereka sebagai bawahan Kekhalifahan Ottoman di Turki.
Salah satu penyebabnya
adalah kemunduran Ottoman yang dianggap dipicu oleh penetrasi kebudayaan
modern. Terkepung oleh kemajuan Eropa, Ottoman memang mulai menyurut pengasuh
dan ketangguhannya. Salah satu usaha untuk memperkuat Ottoman adalah memulai
pendekatan modern dalam berbagai bidang, dari pendidikan hingga persenjataan.
Inilah yang membuat Ottoman, dipandang dari Arab, menjadi dekaden karena
dianggap mulai menjauhi nilai-nilai Islam.
Diperumit oleh
kemunculan sentimen nasionalisme Arab, maka cikal bakal perlawanan bangsa Arab
kepada Ottoman pun kian tak terbendung. Dan Inggris, sebagai lawan Ottoman di
Perang Dunia I, melihat hal itu dengan jeli. Inggris, bersama Prancis,
menganggap menghapus pengaruh Turki di jazirah Arab sebagai keniscayaan jika ingin
memperluas kekuasaan dan pengaruh di Timur Tengah.
Benih-benih terhadap
Turki Ottoman sudah muncul sejak 1915. Pada bulan Maret tahun itu, Sharif
Hussein mengirimkan anaknya yang bernama Faisal untuk bergabung dengan Jami’yah
Arabiyah Fatat. Ini adalah gerakan di Suriah yang bertujuan menggalang kekuatan
untuk melawan pemerintahan Turki Ottoman (Weldon Matthews, Library of Middle
East History, Volume 10, 2006:15).
Peluang ini pun tidak
disia-siakan oleh Inggris. Diutuslah Lawrence untuk menemui Sharif Hussein.
Lewat Lawrence, Inggris menjanjikan sebagian besar wilayah Arab akan menjadi
milik Sharif Hussein jika ia segera mengumumkan perlawanan terhadap Turki
Ottoman. Inggris juga siap membantu dana perang dan persenjataan lengkap
(Pascal Menoret, The Saudi Enigma: A History, 2005:81).
Tapi, Inggris rupanya
sudah menyiapkan strategi lain. Iming-iming untuk Sharif Hussein itu sebenarnya
cuma akal bulus belaka supaya Inggris memperoleh tambahan kekuatan untuk
melawan Turki Ottoman.
Tanpa sepengetahuan
Sharif Hussein, Inggris pada 1916 itu juga meneken Perjanjian Sikes Piccot
dengan Prancis. Isinya, wilayah Arab nanti akan dibagi dua. Inggris mendapatkan
Irak, Yordania, Haifa (Israel), dan sekitarnya, sementara Prancis diberi Suriah
dan Libanon. Adapun sebagian besar wilayah Palestina akan berada dalam kontrol
bersama (Gordon Martel, A Companion to International History, 2008:134).
Selain itu, Inggris
juga menandatangani Perjanjian Balfour yang isinya memberikan hak kepadaYahudi
internasional untuk mendirikan negara zionis di Palestina jika Turki Ottoman
sudah dikalahkan. Hal ini diberikan Inggris karena kaum zionis berhasil
membujuk Amerika Serikat membantu Sekutu melawan kubu Jerman di Perang Dunia I.
Membuat pecah-belah
Timur Tengah
Pada 16 Oktober 1916,
Lawrence atas perintah Inggris menemui tiga putra Sharif Hussein yaitu Ali,
Abdullah, dan Faisal. Lawrence berusaha mendekati secara personal anak-anak
sang emir, terutama Faisal, yang dinilai sebagai calon terbaik untuk memimpin
Revolusi Arab.
Di sinilah peran
krusial Lawrence bermain. Ia benar-benar membaur dengan kehidupan orang Arab
agar bisa menarik hati Faisal dan saudara-saudaranya. Lawrence mempelajari
Islam, sering menghadiri majelis kajian agama, dan menerapkan tradisi muslim
seperti berpakaian Arab atau mengucapkan salam (Claire Chambers, Britain
Through Muslim Eyes, 2015).
Lawrence pun akhirnya
terlibat dalam banyak insiden melawan Turki Ottoman yang terjadi berbagai
tempat. Ia menjadi penasihat militer kepercayaan Faisal. Pengaruh Lawrence amat
strategis sehingga orang-orang Arab segan dan mendengar saran-sarannya dengan
penuh kepercayaan.
Dibantu persenjataan
oleh Inggris, dan dikawani oleh Lawrence, militer Hejaz memperoleh rentetan
kemenangan atas Turki Ottoman dalam peperangan sepanjang tahun 1916-1918. Peran
Lawrence tidak hanya di Mekkah atau Madinah saja, ia juga menjadi aktor
kemenangan di berbagai tempat lain, termasuk Suriah dan Mesir. Salah satunya
adalah Pertempuran Damsyiq yang berhasil merebut Damaskus dari penguasaan Turki
Ottoman.
Lawrence pula yang
dengan cerdiknya mengusulkan agar orang Turki dibiarkan melakukan pengepungan
Medinah agar militer Arab bisa merusak jalur kereta api yang menghubungkan
Turki dengan Hejaz. Jalur yang dibangun untuk memudahkan, terutama, perjalanan
haji dari Turki ini sangat strategis karena menjadi alat transportasi logistik
tentara Turki. Begitu jalur kereta bisa dirusak dan diganggu, kekuatan Turki
pun pelan-pelan merosot.
Seluruh pasukan Turki
Ottoman akhirnya berhasil dipukul mundur pada 27 September 1918. Itu berarti,
misi Inggris (bersama Prancis) untuk menguasai Jazirah Arab hampir pasti
tercapai, berkat andil besar Lawrence, yang segera pulang ke Inggris setelah
tugasnya selesai.
Sharif Hussein
akhirnya berkuasa penuh di Hejaz dan tidak lagi menjadi bawahan Turki. Setelah
meninggal pada 1924, ia digantikan oleh anak tertuanya, Pangeran Ali. Sedangkan
Pangeran Faisal menjadi penguasa di Irak dan Suriah (dikenal dengan nama Faisal
I of Iraqi) dan anaknya yang lain, Pangeran Abdullah, menjadi penguasa di
Jordan (terkenal dengan nama Abdullah I of Jordan).
Namun kekuasaan klan
tersebut mulai diganggu oleh Bani Saud yang berkuasa di Nejd. Bani Saud yang
sempat berkuasa di Hejaz sejak abad-17. Bani Saud mengincar kekuasaan Hussein
Ali di Hejaz dan, lagi-lagi, mereka mendapatkan bantuan Inggris.
Ia memulai kampanyenya
dengan menaklukkan Riyadh. Pada 1926, di bawah kepemimpinan Abdul Azis, Bani
Saud kembali menguasai Hejaz. Keturunan Sharif Hussein pun tersingkir dari
Mekkah dan Madinah.
Abdul Azis inilah yang
kemudian mendeklarasikan nama Arab Saudi sebagai nama kerajaan yang merupakan
gabungan Hejaz dan Najd. Abdul Azis menjadi raja Arab Saudi yang pertama. Raja
Salman yang akan berkunjung ke Indonesia adalah raja ketujuh Arab Saudi.
Lalu, apa kabar
Lawrence? Setelah pulang ke Eropa pada akhir 1918, ia membantu Inggris dan
Prancis dalam hal diplomasi dengan bangsa Arab. Ia juga sempat kembali bertugas
di ketentaraan, termasuk sebagai intelijen, selama beberapa tahun sebelum tewas
dalam kecelakaan motor di dekat kediamannya di Inggris pada 19 Mei 1935. [yma]
Dikutip : dari
berbagai sumber
Post a Comment